Belum genap seumur jagung kita melangkah di tahun 2008, berbagai masalah ekonomi telah menghadang di depan mata. Seolah-olah akan meruntuhkan secercah harapan akan kondisi perekonomian yang lebih baik.
Boleh dikatakan masalah-masalah itu cukup pelik, dan bila tidak mendapatkan treatment yang tepat, bukan tidak mungkin proyeksi perekonomian tahun 2008 yang telah dibuat akan luluh lantak. Pemerintah dan DPR pun dibuat kalang kabut dengan kondisi sekarang. Sampai-sampai APBN 2008 yang biasanya terdapat perubahan-perubahan setelah 6 bulan berjalan, saat ini hanya dalam jangka waktu 3 bulan di awal tahun 2008 telah muncul APBN-P.
Target pertumbuhan ekonomi Indone-sia direvisi dari kisaran 6,5 persen menjadi 6,4 persen. Ini jelas menunjukkan pesi-misme pemerintah dalam menghadapi kinerja ekonomi ke depan. Apalagi penca-paian inflasi tahun kalender (Januari-Ma-ret) sebesar 2,8 persen jauh dari harapan. Pada bulan Maret 2008 laju inflasi domes-tik tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,95 persen sebagai dampak dari tingginya harga minyak dan peningkatan harga komoditas.
Dengan laju inflasi Januari dan Feb-ruari sebesar 1,77 dan 0,65 persen, maka laju inflasi pada kuartal pertama 2008 mencapai 3,41 persen. Adapun laju inflasi “year on year” mencapai 8,17 persen, dan trennya diprediksi akan terus naik. Na-mun Bank Indonesia justru dengan pede-nya mengatakan inflasi bisa ditekan hing-ga kisaran 6 6,5 persen pada akhir 2008.
Di sisi lain, defisit anggaran mencapai Rp 88,1 triliun atau sekitar 2,1 persen dari GDP. Untuk membiayai defisit itu peme-rintah akan menambah penerbitan surat berharga negara (SUN) sekitar 27 persen dari Rp 91,6 triliun menjadi Rp 116,6 tri-liun. Selain itu utang luar negeri juga akan ditingkatkan sebesar 24,6 persen dari Rp 19,1 triliun menjadi Rp 23,8 triliun.
Harga sejumlah komoditas bahan pangan sepanjang tahun 2008 juga berpotensi naik, khususnya produk yang memiliki peranan sebagai bahan bakar alternatif. Antara lain seperti gandum, kedelai, dan CPO. Di sisi lain, persediaan minyak dan produk pertanian global terus menunjukkan penurunan karena permin-taan yang tinggi sehingga memicu lonja-kan harga.
Ketua Tim Ahli Ekonomi Kamar Da-gang Indonesia (Kadin) Faisal Basri me-nyatakan, pihaknya sudah setahun lalu memperingatkan akan adanya krisis pa-ngan nasional. Namun respon pemerintah diakui sangat lambat. “Kita sudah mem-beri himbauan bahwa harga-harga komo-ditas, terutama pangan, akan naik seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. Tapi pemerintah baru risau ketika terjadi kelangkaan tempe,” ujarnya.
Menurutnya, dengan tingkat inflasi yang menembus enam persen, tingkat per-tumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2008 tidak begitu menggembirakan. Ia memprediksi ekonomi hanya tumbuh 6,16,2 persen saja. Sementara ekonom Citibank Anton Gunawan mengatakan inflasi di Indonesia jauh melebihi negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang berkisar 2,12,5 persen. “Ini berpenga-ruh terhadap sensitifitas perubahan asumsi APBN,” ujarnya.
Potensi Social TensionAnton menambahkan, pola pemaha-man inflasi oleh Bank Indonesia seperti roller coaster. “Ada masalah koordinasi institusi. Seharusnya yang terjadi bukan sekadar reaksi dari kondisi yang terjadi sekarang,” urainya. Menurutnya, pada 2008 inflasi akan mendekati 7 persen.
Dampak dari kondisi tersebut penda-patan riil masyarakat kelas bawah akan semakin terkikis. Terjadi penurunan upah nominal buruh tani di Jawa pada 2007 lalu. Juga terjadi penurunan upah nominal di industri padat karya, yaitu rokok, pa-kaian jadi, ubin dan batu bata. Sebaliknya, terjadi peningkatan di sektor jasa yang sangat signifikan.
“Kondisi ini meningkatkan gap dari koefisien gini,” sela Faisal Basri. Apabila tak segera diatasi, hal tersebut dikuatirkan berpotensi meningkatkan social tension yang akan berdampak pada penurunan kinerja ekonomi yang sudah membaik. Intinya, menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi kita rendah secara kualitas dan cenderung sektoral.
Namun, sebagian analis menilai kondi-si ini akan sedikit tertahan resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat (AS). Permintaan AS akan berkurang, sehingga ekspor dari negara-negara produsen ke AS diperkirakan akan berkurang pula. Ancaman resesi ekonomi pada negara adikuasa tersebut memang menyita perhatian dunia. Maklumlah, meski tidak sekuat dulu hingga saat ini AS masih menyumbang sekitar 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Sehingga bisa dikatakan “batuk”-nya AS, bisa membuat dunia “sesak napas”.
The Fed sebagai pemegang otoritas moneter negeri Paman Sam mencoba memberikan resep dengan secara agresif menurunkan Fed Funds Rate yang merupakan suku bunga acuan untuk pasar uang antarbank di AS. Jika di akhir tahun Fed Funds Rate berada pada level 4,25 persen, di bulan Januari turun sebanyak dua kali di level 3,5 persen dan 3 persen, dan pada awal Maret lalu Fed Funds Rate kembali merosot hingga ke level 2,25 persen.
Steve H. Hanke, profesor ekonomi terapan dari Universitas John Hopkins AS, dalam kuliah umum di Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci belum lama ini mengungkapkan penurunan suku bunga The Fed berimplikasi pada melemahnya nilai dollar AS terhadap Euro. Ke depannya, naik turunnya nilai dollar AS diperkirakan akan sangat tergantung pada seberapa jauh kebijakan penurunan Fed Funds Rate yang akan diambil oleh The Fed dan seberapa besar respon bank sentral utama dunia lainnya dalam merespon kebijakan The Fed.
Perbedaan interest differential rate (selisih suku bunga) antara AS (Fed Funds Rate) dan suku bunga acuan negara lain akan menjadi faktor penentu bagi nilai dollar AS ke depan. Gap (interest differential rate) antara Fed Funds Rate dengan BI rate sendiri sampai saat ini masih dinilai aman oleh Bank Indonesia. Akibat BI rate yang masih bertahan pada level 8 persen, banyak aliran dana luar negeri yang masuk sehingga nilai rupiah menguat.
Namun, sampai kapan arus dana yang masuk dari luar negeri ke Indonesia akan bertahan? Oleh karenanya, salah satu jalan keluar yang patut diperhatikan oleh pemerintah ialah dengan memperbaiki kerangka kelembagaan ekonomi. “Kita tidak memiliki kerangka institusional yang jelas. Inilah saatnya pemerintah untuk mawas diri dan melakukan perombakan serius ke depan,” seperti kata Faisal Basri. Semoga ancaman resesi ekonomi AS tidak sepenuhnya mendistorsi perekonomian global yang dapat berimbas pada perekonomian nasional. dni